Minggu, 20 Mei 2012

kelahiran sastra


Sastra lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah, mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain, mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.

Balai pustaka


Kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul setelah Perang Dunia I berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun 1917. Balai Pustaka nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908.

Awalnya Balai Pustaka menerbitkan buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah, kemudian buku-buku terjemahan atau saduran cerita-cerita kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik Eropa, baru kemudian buku-buku karangan baru. Tahun 1914 terbitlah roman pertama dalam bahasa Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata. 

Tahun 1918 terbitlah Tjerita Si Djamin dan Si Djohan karangan Merari Siregar. Tjerita Si Djamin dan Si Djohan yang disebut sebagai roman pertama dalam sastra Indonesia, sebetulnya disadur Merari Siregar dari Jan Smees karangan J. van Maurik. Oleh T. J. Lekkerkerker dikatakannya disadur dari novel Oliver Twist, karangan Charles Dickens. Baru pada tahun 1920 terbit roman asli pertama sastra Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak Gadis karangan Merari Siregar juga.

Balai Pustaka memang berhasil mendorong kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia. Untuk dapat diterbitkan di Balai Pustaka, tulisan itu mereka saring. Ini dapat dimaklumi. Pendirian Balai Pustaka mempunyai latar belakang politis, untuk mengarahkan bacaan rakyat dan menyaingi buku-buku terbitan swasta atau partikulir. Mereka makin lama makin banyak tersebar dalam masyarakat. Buku-buku itu sebagian besar membangitkan rasa nasionalisme. 

Tentu saja hal ini berbahaya bagi kelangsungan hidup penjajahan Belanda. Karena itu, syarat utama yang diterapkan oleh Balai Pustaka, karangan tidak boleh menyinggung-nyinggung soal politik. Karangan-karangan itu harus bebas dari nada menghasut. Buku-buku terbitan non-Balai Pustaka, yang sifat dan isinya menghasut rakyat mereka sebut dengan bacaan liar.

Roman-roman yang tidak bernada menghasut dan lebih bersifat hiburan, menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ichtisar Sedjarah Sastra Indonesia (1969), banyak ditulis dan diterbitkan para pengarang Cina. Mereka menulis dalam bahasa Melayu yang dikenal dengan bahasa Melayu-Cina.

Di Indonesia sastra Melayu-Cina tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia modern akhir abad ke-19. Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra Indonesia Tionghoa. Menurut Jakob Sumardjo dalam bukunya Dari Kasanah Sastra Dunia (1985), jenis sastra ini diawali dengan terjemahan-terjemahan.

Pada kurun awal perkembangannya, terbit karya-karya terjemahan sastra Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie Kim Hok, antara lain: Kapten Flamberge setebal 560 halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan Baccarat setebal 960 halaman, Rocambole Binasa, dan Genevieve de Vadans setebal 1.250 halaman. Demikian tebalnya buku-bukuitu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang sampai empat puluh jilid. Setelah masa itu, masih dari Jakob Sumardjo, barulah berkembang karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942.

Kapan kesustraan Indonesia lahir ?


Masalah itu menjadi persoalan, kata Ajip Rosidi, karena jika orang hendak membicarakan kesusastraan Indonesia secara historis, tentu pertama-tama akan berhadapan dengan pertanyaan itu. Kebanyakan penelaah sastra seakan sengaja menghindar. Dengan gampang saja mengatakan sejarah kesusastraan Indonesia bermula dari kesusastraan Melayu. Nurani mereka tidak tergugah dengan memasukkan dan mengakui Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, pengarang Singapura keturunan Tamil sahabat karib Raffles, sebagai tokoh pembaharu kesusastraan Indonesia.

Masalah itu diangkat dan dibahas oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah sedikit. 

Artinya, bisa mundur atau maju dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali dengan sifat nasional yang meleat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena “sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”, tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.

Tanggal 20 Mei 1908 merupakan tonggak sejarah kebangkitan nasional. Kaitannya dengan sejarah sastra Indonesia, Ajip Rosidi lebih cenderung rasa nasionalisme baru bangkit pada tahun 1920 atau 1921 karena pada tahun-tahun itu terbit dalam majalah Jong Sumatra sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan lain-lain. Tahun 1922 saat terbitnya Tanah Air untaian sajak Muhammad Yamin. 

Memang Tanah Air yang dilantunkan Muhammad Yamin belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis seperti sekarang. Enam tahun kemudian dia turut memelopori pengakuan bangsa, tanah air dan bahasa Indonesia sebagai dasar persatuan Indonesia.

Jauh sebelum terbit roman-roman Balai Pustaka di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sastra Melayu-Tionghoa. Kesusastraan Melayu-Tionghoa sudah ada sejak 1870, sedangkan kesusastraan Indonesia modern baru muncul belakangan. Masalahnya sekarang: di mana letak dan apa peranan sastra Melayu-Tionghoa itu dalam rangka kesejarahan sastra Indonesia?

Sejauh ini belum ada pengakuan atas kepeloporan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses kebangsaan Indonesia melalui kesusastraan. Kurangnya pengakuan ini tidaklah adil. Secara kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100 tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005 buah karya. Bandingkan catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun (1918-1967), kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis dan 770 buah karya.

Sudah lama suara terpendam yang mengakui kepeloporan kesastraan Melayu-Tionghoa mulai terdengar sayup-sayup meskipun di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada 1930-an, Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesusastraan ini. Dinamainya dengan Kesusastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang berkembang sendiri di luar lembaga resmi.

Setelah merdeka, Pramoedya Ananta Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia modern. Tahun 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay Literature).

Hal itu terungkap dalam “Sekapur Sirih” buku Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia, Jilid 1, cetakan ke-1 Februari 2000. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan Populer Gramedia (KPG) dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation jilid pertamanya memuat tujuh buah tulisan: 1. Sair Kedatangan Sri Maharaja Siam di Betawi(1870) pengarangnya anonim, 2. Sya’ir Jalanan Kreta Api (1890) oleh Tan Teng Kie, 3. Kitab Eja A.B.C. (1884) oleh Lie Kim Hok, 4. Lo Fen Koei (1903) oleh Thio Tjin Boen, 6. Cerita Sie Po Giok (1912) oleh Tio Ie Soei, dan 7. Riwajatnja Sato Bokser “Tionghoa” (Tan Sie Tiat) (1928) Telah terkumpul dan terpilih tulisan sebanyak 15.000 halaman. Diperkirakan seluruhnya akan terbit dalam 25 jilid.

Menarik menyimak “Pengantar” yang dibuat oleh Myra Sidharta. Kaum peranakan Tionghoa adalah minoritas yang tidak berwilayah, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Mereka merupakan hasil kawin campur antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Bahasa mereka sebelum kemerdekaan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya dengan dialek darah Fujian atau Hokkian. Dalam sastra mereka, yang ditulis dalam bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata bahasa Jawa atau dialek setempat lainnya, seperti Sunda bahkan seringkali Belanda.

Mengutip tulisan Nio Joe Lan Sastra Indonesia-Tionghoa (1962), sastra kaum peranakan Tionghoa yang ditulis dalam bahasa lisan sehari-hari tidak akan ditulis lagi. Menurut hukum Indonesia, tidak ada lagi kaum peranakan karena orang-orang etnis Tionghoa telah menjadi bangsa Indonesia atau bangsa Tionghoa sesuai dengan pilihan mereka. 

Menurut Nio, karya-karya sastra kaum peranakan ini sangat kaya isinya, meskipun miskin dari sudut bahasa. Oleh karenanya, Nio menyarankan agar karya-karya itu dikaji dari sudut sejarah, sastra, dan psikologi. Karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang keturunan Tionghoa berakhir tahun 1962. Tahun 70-an muncul nama Marga T. disusul oleh Mira W. pada tahun 80-an.

Kajian tentang genre sastra ini dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Karya Claudine Salmon Literature in Malay by the Chinese in Indonesia lazim disebut sebagai “Katalog Karya-Karya Peranakan”. Dia membicarakan tentang penerbitan, perdagangan dan terjemahan karya-karya sastra. Thomas Rieger yang mengkaji naskah-naskah drama karya Kwee Tek Hoay, yang tulisannya dikutip oleh Katrin Bandel ketika menulis “Epilog” dalam novel Acek Botak(2009) karya Idris Pasaribu.

Koleksi buku sastra peranakan Tionghoa tersimpan, antara lain, di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Koninlijk Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Rijksuniversiteit Leiden, di University of Wisconsin Madison, di Cornell University, Perpustakaan Yogyakarta, koleksi keluarga Ch. Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, dan juga koleksi-koleksi pribadi.

Membaca karya-karya itu diakui Myra Sidharta seperti membawa dia ke dunia yang dikenalnya yang hampir pupus dari ingatan. Gambaran yang tercermin adalah dunia kaum peranakan sebelum Perang Dunia II. Isinya sarat dengan ajaran moral dan peringatan terutama tertuju pada kaum perempuan seperti agar taat pada ajaran Konfusius yang mengharuskan para gadis mematuhi orang tuanya, para istri mematuhi suaminya, dan para janda mematuhi putranya.

Sastra Melayu-Tionghoa atau astra Indonesia-Tionghoa adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir hanya dipandang dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas. Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.

sastra cyber


Sastra cyber merupakan suatu revolusi. Sebagaimana internet menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga setelah kehadiran televisi. Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan keberadaan teknologi media. Antara lain sastra majalah, sastra koran, dan sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga dengan keberadaan sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun datang.
Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul. Memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan kini juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.

Ironisnya, tantangan di Indonesia justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang bebas itu pernah dituding (baca: dianggap) oleh beberapa pihak sebagai sekadar ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski demikian,seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan tersebut.
Penggunaan istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio, sastra dinding, dan sebagainya.
Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang sering mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau "nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisinal?
Benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup pintu rapat-rapat bagi "orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di "darat" atau "eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.
Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh itulah perjalanan puitik penyair tersebut.
Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair "sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian. Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan "pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa harus takut pada gunting tajam sosok redaktur.
Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya dan karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan besar ini menolak disebut pengarang "profesional" dan lebih suka disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis karena memang mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam pengertian "pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di koran atau majalah.
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya, terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati. Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam membaca hal-hal tsb.
Selain permasalahan di atas, minimnya keterlibatan komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo. Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa) universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas, apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sastra elektronik (sasel) Indonesia.
Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi "orang-orang yang aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber." Kenaifan seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui bahwa  cyborg adalah kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya. Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah contoh cyborg paling terkenal dari budaya populer.

Pentingnya memahami sejarah sastra Indonesia


Sastra yang mulai di abaikan masyarakat Indonesia sungguh sangat menyedihkan. Sejarah sastra tidak lagi banyak dipelajari. Padahalmempelajari sejarah sastra sangat penting bagi masyarakat Indonesia. Menurut saya pribadi sikap masyarakat Indonesia yang abai atau tidak peduli terhadap sejarah sastra Indonesia dikarenakan beberapa hal, yiatu :
  1. Tidak mengetahui pentingnya mempelajari karya sastra
  2. Banyaknya karya-karya sastra baru yang bernuansa remaja yang menghapus jejak karya-karya sastra lama karangan para pengarang terdahulu.
  3. Perkembangan zaman yang semakin modern yang membuat masyarakat indonesia gengsi atau malas mempelajari sejarah sastra yang dianggap jadul dan tidak penting.
  4. Kurangnya perhatian pemerintah terhadap pengumpulan dan perawatan dokumen-dokumen yang berhubungan dengan sejarah sastra Indonesia.
Masyarakat Indonesia menjadi ahistoris 
Dari beberapa alasan diatas, masyarakat Indonesia semakin lama akan semakin menjadi masyarakat Indonesia yan ahistorisMasyarakat Ahistoris adalahmasyarakat yang tidak mengenal dan tidak mau mengenal sejarah, khususnya sejarah sastra. Padahal sejarah merupakan kebenaran, mempelajari sejarah sastra berarti mempelajari kebenaran tentang sastra Indonesia.

Pentingnya Memahami Sejarah Sastra
Sastra Indonesia merupakan satu dari sekian banyak ciri jati diri bangsa Indonesia, mempelajari sejarah sastra penting bagi masyarakat Indonesia, minimal memahami sejarah sastra Indonesia. Karena selain melestarikan jati diri bangsa Indonesia, memahami sejarah sastra membuat masyarakat Indonesia mengetahui perkembangan sastra dari zaman ke zaman, dimulai dari awal mula sastra dan perjalanan sastra hingga sekarang, dengan mempelajari sejarah sastra kita juga bisa membedakan apa saja perbedaan, dan persamaan antara karya sastra dari generasi ke generasi. Mempelajari sejarah sastra juga berarti menghargai karya-karya sastra dari pengarang-pengarang sastra lama yang sudah wafat. Kita juga bisa menjadikan karya sastra sebagai motivasi untu perkembangan dan kemajuan bangsa Indonesia.