Sastra
lahir dari proses kegelisahan sastrawan atas kondisi masyarakat dan terjadinya
ketegangan atas kebudayaannya. Sastra sering juga ditempatkan sebagai potret
sosial. Ia mengungkapkan kondisi masyarakat pada masa tertentu. Ia dipandang
juga memancarkan semangat zamannya. Dari sanalah, sastra memberi pemahaman yang
khas atas situasi sosial, kepercayaan, ideologi, dan harapan-harapan individu
yang sesungguhnya merepresentasikan kebudayaan bangsanya. Dalam konteks itulah,
mempelajari sastra suatu bangsa pada hakikatnya tidak berbeda dengan usaha
memahami kebudayaan bangsa yang bersangkutan. Dengan perkataan lain,
mempelajari kebudayaan suatu bangsa tidak akan lengkap jika keberadaan
kesusastraan bangsa yang bersangkutan diabaikan. Di situlah kedudukan
kesusastraan dalam kebudayaan sebuah bangsa. Ia tidak hanya merepresentasikan
kondisi sosial yang terjadi pada zaman tertentu, tetapi juga menyerupai
pantulan perkembangan pemikiran dan kebudayaan masyarakatnya.
Pentingnya memahami sejarah sastra Indonesia
Minggu, 20 Mei 2012
Balai pustaka
Kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul
setelah Perang Dunia I berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun
1917. Balai Pustaka nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de
Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de
Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908.
Awalnya Balai Pustaka menerbitkan
buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah, kemudian buku-buku terjemahan atau
saduran cerita-cerita kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik
Eropa, baru kemudian buku-buku karangan baru. Tahun 1914 terbitlah roman
pertama dalam bahasa Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun
Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata.
Tahun 1918 terbitlah Tjerita
Si Djamin dan Si Djohan karangan Merari Siregar. Tjerita Si
Djamin dan Si Djohan yang disebut sebagai roman pertama dalam sastra
Indonesia, sebetulnya disadur Merari Siregar dari Jan Smees karangan
J. van Maurik. Oleh T. J. Lekkerkerker dikatakannya disadur dari novel Oliver
Twist, karangan Charles Dickens. Baru pada tahun 1920 terbit roman asli
pertama sastra Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak
Gadis karangan Merari Siregar juga.
Balai Pustaka memang berhasil mendorong
kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia. Untuk dapat diterbitkan di Balai
Pustaka, tulisan itu mereka saring. Ini dapat dimaklumi. Pendirian Balai
Pustaka mempunyai latar belakang politis, untuk mengarahkan bacaan rakyat dan
menyaingi buku-buku terbitan swasta atau partikulir. Mereka makin lama makin
banyak tersebar dalam masyarakat. Buku-buku itu sebagian besar membangitkan
rasa nasionalisme.
Tentu saja hal ini berbahaya bagi
kelangsungan hidup penjajahan Belanda. Karena itu, syarat utama yang diterapkan
oleh Balai Pustaka, karangan tidak boleh menyinggung-nyinggung soal politik.
Karangan-karangan itu harus bebas dari nada menghasut. Buku-buku terbitan
non-Balai Pustaka, yang sifat dan isinya menghasut rakyat mereka sebut dengan
bacaan liar.
Roman-roman yang tidak bernada
menghasut dan lebih bersifat hiburan, menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ichtisar
Sedjarah Sastra Indonesia (1969), banyak ditulis dan diterbitkan para
pengarang Cina. Mereka menulis dalam bahasa Melayu yang dikenal dengan bahasa
Melayu-Cina.
Di Indonesia sastra Melayu-Cina
tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia modern akhir abad ke-19.
Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra Indonesia Tionghoa. Menurut Jakob
Sumardjo dalam bukunya Dari Kasanah Sastra Dunia (1985),
jenis sastra ini diawali dengan terjemahan-terjemahan.
Pada kurun awal perkembangannya,
terbit karya-karya terjemahan sastra Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie
Kim Hok, antara lain: Kapten Flamberge setebal 560
halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan
Baccarat setebal 960 halaman, Rocambole Binasa,
dan Genevieve de Vadans setebal 1.250 halaman. Demikian
tebalnya buku-bukuitu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang sampai empat
puluh jilid. Setelah masa itu, masih dari Jakob Sumardjo, barulah berkembang
karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942.
Kapan kesustraan Indonesia lahir ?
Masalah itu menjadi persoalan, kata Ajip Rosidi, karena
jika orang hendak membicarakan kesusastraan Indonesia secara historis, tentu
pertama-tama akan berhadapan dengan pertanyaan itu. Kebanyakan penelaah sastra
seakan sengaja menghindar. Dengan gampang saja mengatakan sejarah kesusastraan
Indonesia bermula dari kesusastraan Melayu. Nurani mereka tidak tergugah dengan
memasukkan dan mengakui Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, pengarang Singapura
keturunan Tamil sahabat karib Raffles, sebagai tokoh pembaharu kesusastraan
Indonesia.
Masalah itu diangkat dan dibahas
oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia
Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan
serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia
baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa
ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan
bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai
pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah
sedikit.
Artinya, bisa mundur atau maju
dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya
Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak
bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali
dengan sifat nasional yang meleat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena
“sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”,
tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Tanggal 20 Mei 1908 merupakan
tonggak sejarah kebangkitan nasional. Kaitannya dengan sejarah sastra
Indonesia, Ajip Rosidi lebih cenderung rasa nasionalisme baru bangkit pada
tahun 1920 atau 1921 karena pada tahun-tahun itu terbit dalam majalah Jong
Sumatra sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan
lain-lain. Tahun 1922 saat terbitnya Tanah Air untaian sajak
Muhammad Yamin.
Memang Tanah Air yang
dilantunkan Muhammad Yamin belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis
seperti sekarang. Enam tahun kemudian dia turut memelopori pengakuan bangsa,
tanah air dan bahasa Indonesia sebagai dasar persatuan Indonesia.
Jauh sebelum terbit roman-roman
Balai Pustaka di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sastra Melayu-Tionghoa.
Kesusastraan Melayu-Tionghoa sudah ada sejak 1870, sedangkan kesusastraan
Indonesia modern baru muncul belakangan. Masalahnya sekarang: di mana letak dan
apa peranan sastra Melayu-Tionghoa itu dalam rangka kesejarahan sastra
Indonesia?
Sejauh ini belum ada pengakuan
atas kepeloporan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses kebangsaan
Indonesia melalui kesusastraan. Kurangnya pengakuan ini tidaklah adil. Secara
kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100
tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005
buah karya. Bandingkan catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun
(1918-1967), kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan
sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis
dan 770 buah karya.
Sudah lama suara terpendam yang
mengakui kepeloporan kesastraan Melayu-Tionghoa mulai terdengar sayup-sayup meskipun
di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada 1930-an,
Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesusastraan ini. Dinamainya
dengan Kesusastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang
berkembang sendiri di luar lembaga resmi.
Setelah merdeka, Pramoedya Ananta
Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa
sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan
baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia
modern. Tahun 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland
tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay
Literature).
Hal itu terungkap dalam “Sekapur
Sirih” buku Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia,
Jilid 1, cetakan ke-1 Februari 2000. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG) dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
jilid pertamanya memuat tujuh buah tulisan: 1. Sair Kedatangan Sri
Maharaja Siam di Betawi(1870) pengarangnya anonim, 2. Sya’ir
Jalanan Kreta Api (1890) oleh Tan Teng Kie, 3. Kitab Eja
A.B.C. (1884) oleh Lie Kim Hok, 4. Lo Fen Koei (1903)
oleh Thio Tjin Boen, 6. Cerita Sie Po Giok (1912) oleh Tio
Ie Soei, dan 7. Riwajatnja Sato Bokser “Tionghoa” (Tan Sie
Tiat) (1928) Telah terkumpul dan terpilih tulisan sebanyak 15.000 halaman.
Diperkirakan seluruhnya akan terbit dalam 25 jilid.
Menarik menyimak “Pengantar” yang
dibuat oleh Myra Sidharta. Kaum peranakan Tionghoa adalah minoritas yang tidak
berwilayah, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Mereka merupakan hasil kawin
campur antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Bahasa mereka
sebelum kemerdekaan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya
dengan dialek darah Fujian atau Hokkian. Dalam sastra mereka, yang ditulis
dalam bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata bahasa Jawa atau dialek
setempat lainnya, seperti Sunda bahkan seringkali Belanda.
Mengutip tulisan Nio Joe Lan
Sastra Indonesia-Tionghoa (1962), sastra kaum peranakan Tionghoa yang ditulis
dalam bahasa lisan sehari-hari tidak akan ditulis lagi. Menurut hukum
Indonesia, tidak ada lagi kaum peranakan karena orang-orang etnis Tionghoa telah
menjadi bangsa Indonesia atau bangsa Tionghoa sesuai dengan pilihan
mereka.
Menurut Nio, karya-karya sastra
kaum peranakan ini sangat kaya isinya, meskipun miskin dari sudut bahasa. Oleh
karenanya, Nio menyarankan agar karya-karya itu dikaji dari sudut sejarah,
sastra, dan psikologi. Karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang
keturunan Tionghoa berakhir tahun 1962. Tahun 70-an muncul nama Marga T.
disusul oleh Mira W. pada tahun 80-an.
Kajian tentang genre sastra ini
dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Karya Claudine Salmon Literature
in Malay by the Chinese in Indonesia lazim disebut sebagai “Katalog
Karya-Karya Peranakan”. Dia membicarakan tentang penerbitan, perdagangan dan
terjemahan karya-karya sastra. Thomas Rieger yang mengkaji naskah-naskah drama
karya Kwee Tek Hoay, yang tulisannya dikutip oleh Katrin Bandel ketika menulis
“Epilog” dalam novel Acek Botak(2009) karya Idris Pasaribu.
Koleksi buku sastra peranakan
Tionghoa tersimpan, antara lain, di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Koninlijk
Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Rijksuniversiteit
Leiden, di University of Wisconsin Madison, di Cornell University, Perpustakaan
Yogyakarta, koleksi keluarga Ch. Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, dan
juga koleksi-koleksi pribadi.
Membaca karya-karya itu diakui
Myra Sidharta seperti membawa dia ke dunia yang dikenalnya yang hampir pupus
dari ingatan. Gambaran yang tercermin adalah dunia kaum peranakan sebelum
Perang Dunia II. Isinya sarat dengan ajaran moral dan peringatan terutama
tertuju pada kaum perempuan seperti agar taat pada ajaran Konfusius yang
mengharuskan para gadis mematuhi orang tuanya, para istri mematuhi suaminya,
dan para janda mematuhi putranya.
Sastra Melayu-Tionghoa atau astra
Indonesia-Tionghoa adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek
dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir hanya dipandang
dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas.
Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.
sastra cyber
Sastra cyber merupakan suatu revolusi. Sebagaimana internet
menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga
setelah kehadiran televisi. Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan
keberadaan teknologi media. Antara lain sastra majalah, sastra koran, dan
sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga dengan keberadaan
sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun
datang.
Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul.
Memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan
kini juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang
boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.
Ironisnya, tantangan di Indonesia
justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang
bebas itu pernah dituding (baca: dianggap) oleh beberapa pihak sebagai sekadar
ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski
demikian,seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan
cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk
apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan
tersebut.
Penggunaan
istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis
medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra
koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio,
sastra dinding, dan sebagainya.
Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui
medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang sering
mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau
"nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra
koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan
bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang
dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung
gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisinal?
Benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup
pintu rapat-rapat bagi "orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia
cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia
cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di
"darat" atau "eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya
di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang
ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis
manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak
bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.
Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat
menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi
ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat
apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di
segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa
menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia
menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa
mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan
romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh
itulah perjalanan puitik penyair tersebut.
Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya
dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama
penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan
semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair
"sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun
seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian.
Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet
yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah
kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang
dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan
"pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya
terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber
menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa
harus takut pada gunting tajam sosok redaktur.
Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya
kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya
dan karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa
dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan
besar ini menolak disebut pengarang "profesional" dan lebih suka
disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis karena memang
mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional
bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam pengertian
"pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas
melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika
seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di
koran atau majalah.
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya,
terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan
ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu
kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia
maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya
mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati.
Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan
diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam
membaca hal-hal tsb.
Selain permasalahan di atas, minimnya keterlibatan
komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang
terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah
silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga
seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo.
Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa)
universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas,
apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sastra elektronik
(sasel) Indonesia.
Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini
adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam
komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh
sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum
ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi "orang-orang yang
aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber." Kenaifan
seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui
bahwa cyborg adalah
kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan
Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang
mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya.
Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah contoh cyborg paling
terkenal dari budaya populer.
Pentingnya memahami sejarah sastra Indonesia
Sastra yang mulai di
abaikan masyarakat Indonesia sungguh sangat menyedihkan. Sejarah sastra tidak
lagi banyak dipelajari. Padahalmempelajari sejarah sastra sangat
penting bagi masyarakat Indonesia. Menurut saya pribadi sikap
masyarakat Indonesia yang abai atau tidak peduli terhadap sejarah sastra
Indonesia dikarenakan beberapa hal, yiatu :
- Tidak
mengetahui pentingnya mempelajari karya sastra
- Banyaknya
karya-karya sastra baru yang bernuansa remaja yang menghapus jejak
karya-karya sastra lama karangan para pengarang terdahulu.
- Perkembangan
zaman yang semakin modern yang membuat masyarakat indonesia gengsi atau
malas mempelajari sejarah sastra yang dianggap jadul dan tidak penting.
- Kurangnya
perhatian pemerintah terhadap pengumpulan dan perawatan dokumen-dokumen
yang berhubungan dengan sejarah sastra Indonesia.
Masyarakat Indonesia
menjadi ahistoris
Dari beberapa alasan
diatas, masyarakat Indonesia semakin lama akan semakin menjadi masyarakat
Indonesia yan ahistoris. Masyarakat Ahistoris adalahmasyarakat
yang tidak mengenal dan tidak mau mengenal sejarah, khususnya sejarah sastra.
Padahal sejarah merupakan kebenaran, mempelajari sejarah sastra berarti
mempelajari kebenaran tentang sastra Indonesia.
Pentingnya Memahami Sejarah
Sastra
Sastra Indonesia merupakan satu dari sekian banyak ciri
jati diri bangsa Indonesia, mempelajari sejarah sastra penting
bagi masyarakat Indonesia, minimal memahami sejarah sastra Indonesia.
Karena selain melestarikan jati diri bangsa Indonesia, memahami sejarah sastra
membuat masyarakat Indonesia mengetahui perkembangan sastra dari zaman ke
zaman, dimulai dari awal mula sastra dan perjalanan sastra hingga sekarang,
dengan mempelajari sejarah sastra kita juga bisa membedakan
apa saja perbedaan, dan persamaan antara karya sastra dari generasi ke
generasi. Mempelajari sejarah sastra juga berarti menghargai
karya-karya sastra dari pengarang-pengarang sastra lama yang sudah wafat. Kita
juga bisa menjadikan karya sastra sebagai motivasi untu perkembangan dan
kemajuan bangsa Indonesia.
Langganan:
Postingan (Atom)