Masalah itu menjadi persoalan, kata Ajip Rosidi, karena
jika orang hendak membicarakan kesusastraan Indonesia secara historis, tentu
pertama-tama akan berhadapan dengan pertanyaan itu. Kebanyakan penelaah sastra
seakan sengaja menghindar. Dengan gampang saja mengatakan sejarah kesusastraan
Indonesia bermula dari kesusastraan Melayu. Nurani mereka tidak tergugah dengan
memasukkan dan mengakui Abdullah bin Abdulkadir Munsyi, pengarang Singapura
keturunan Tamil sahabat karib Raffles, sebagai tokoh pembaharu kesusastraan
Indonesia.
Masalah itu diangkat dan dibahas
oleh Ajip Rosidi dalam bukunya Kapankah Kesusastraan Indonesia
Lahir (1988), yang cetakan pertamanya tahun 1964. Orang pertama dan
serius membicarakannya adalah Umar Junus. Menurut dia, kesusastraan Indonesia
baru ada setelah bahasa Indonesia ada karena sastra baru ada setelah bahasa
ada. Bahasa Melayu berakhir pada tahun 1928, kemudian bertukar nama dengan
bahasa Indonesia, yang menjadi bahasa persatuan bagi bangsa Indonesia. Sebagai
pegangan, titik mula bagi sastra Indonesia juga tahun 1928, yang dapat berubah
sedikit.
Artinya, bisa mundur atau maju
dari tahun itu. Tahun 1921 dengan terbitnya roman Azab Sengsara karya
Merari Siregar dan Sitti Nurbaya karya Marah Rusli tidak
bisa diterima karena buku-buku terbitan Balai Pustaka itu “bertentangan sekali
dengan sifat nasional yang meleat pada nama Indonesia”. Lebih tepat karena
“sastra Indonesia baru dengan tegas memperlihatkan dirinya pada tahun 1933”,
tahun terbitnya majalah kebudayaan Poedjangga Baroe.
Tanggal 20 Mei 1908 merupakan
tonggak sejarah kebangkitan nasional. Kaitannya dengan sejarah sastra
Indonesia, Ajip Rosidi lebih cenderung rasa nasionalisme baru bangkit pada
tahun 1920 atau 1921 karena pada tahun-tahun itu terbit dalam majalah Jong
Sumatra sajak-sajak Muhammad Yamin, Moh. Hatta, Sanusi Pane dan
lain-lain. Tahun 1922 saat terbitnya Tanah Air untaian sajak
Muhammad Yamin.
Memang Tanah Air yang
dilantunkan Muhammad Yamin belum lagi tanah air Indonesia dalam arti geografis
seperti sekarang. Enam tahun kemudian dia turut memelopori pengakuan bangsa,
tanah air dan bahasa Indonesia sebagai dasar persatuan Indonesia.
Jauh sebelum terbit roman-roman
Balai Pustaka di Indonesia telah tumbuh dan berkembang sastra Melayu-Tionghoa.
Kesusastraan Melayu-Tionghoa sudah ada sejak 1870, sedangkan kesusastraan
Indonesia modern baru muncul belakangan. Masalahnya sekarang: di mana letak dan
apa peranan sastra Melayu-Tionghoa itu dalam rangka kesejarahan sastra
Indonesia?
Sejauh ini belum ada pengakuan
atas kepeloporan masyarakat Peranakan Tionghoa dalam proses kebangsaan
Indonesia melalui kesusastraan. Kurangnya pengakuan ini tidaklah adil. Secara
kuantitatif, menurut perhitungan Claudine Salmon, selama kurun waktu hampir 100
tahun (1870-1960) kesusastraan Melayu-Tionghoa ada 806 penulis dengan 3.005
buah karya. Bandingkan catatan Prof. Dr. A. Teeuw, selama hampir 50 tahun
(1918-1967), kesusastraan modern Indonesia asli hanya ada 175 penulis dengan
sekitar 400 buah karya. Kalau dihitung sampai tahun 1979, sebanyak 284 penulis
dan 770 buah karya.
Sudah lama suara terpendam yang
mengakui kepeloporan kesastraan Melayu-Tionghoa mulai terdengar sayup-sayup meskipun
di bawah tekanan pendapat umum. Kembali menurut Claudine Salmon, pada 1930-an,
Nio Joe Lan sudah menyerukan pentingnya peranan kesusastraan ini. Dinamainya
dengan Kesusastraan Indo-Tionghoa (de Indo-Chineesche literatuur), yang
berkembang sendiri di luar lembaga resmi.
Setelah merdeka, Pramoedya Ananta
Toer berulang kali menyebut masa perkembangan kesastraan Melayu Tionghoa
sebagai masa asimilasi, masa transisi dari kesusastraan lama ke kesusastraan
baru. Tahun 1971, C.W. Watson menyebutnya pendahulu kesusastraan Indonesia
modern. Tahun 1977, John B. Kwee menulis disertasi di Universitas Auckland
tentang apa yang disebutnya Kesastraan Melayu Tionghoa (Chinese Malay
Literature).
Hal itu terungkap dalam “Sekapur
Sirih” buku Kesastraan Melayu-Tionghoa dan Kebangsaan Indonesia,
Jilid 1, cetakan ke-1 Februari 2000. Buku yang diterbitkan oleh Kepustakaan
Populer Gramedia (KPG) dengan Yayasan Adikarya IKAPI dan The Ford Foundation
jilid pertamanya memuat tujuh buah tulisan: 1. Sair Kedatangan Sri
Maharaja Siam di Betawi(1870) pengarangnya anonim, 2. Sya’ir
Jalanan Kreta Api (1890) oleh Tan Teng Kie, 3. Kitab Eja
A.B.C. (1884) oleh Lie Kim Hok, 4. Lo Fen Koei (1903)
oleh Thio Tjin Boen, 6. Cerita Sie Po Giok (1912) oleh Tio
Ie Soei, dan 7. Riwajatnja Sato Bokser “Tionghoa” (Tan Sie
Tiat) (1928) Telah terkumpul dan terpilih tulisan sebanyak 15.000 halaman.
Diperkirakan seluruhnya akan terbit dalam 25 jilid.
Menarik menyimak “Pengantar” yang
dibuat oleh Myra Sidharta. Kaum peranakan Tionghoa adalah minoritas yang tidak
berwilayah, tetapi tersebar di seluruh Indonesia. Mereka merupakan hasil kawin
campur antara orang-orang Tionghoa dengan masyarakat setempat. Bahasa mereka
sebelum kemerdekaan campuran bahasa Melayu dengan bahasa Tionghoa, umumnya
dengan dialek darah Fujian atau Hokkian. Dalam sastra mereka, yang ditulis
dalam bahasa lisan sehari-hari, terdapat juga kata-kata bahasa Jawa atau dialek
setempat lainnya, seperti Sunda bahkan seringkali Belanda.
Mengutip tulisan Nio Joe Lan
Sastra Indonesia-Tionghoa (1962), sastra kaum peranakan Tionghoa yang ditulis
dalam bahasa lisan sehari-hari tidak akan ditulis lagi. Menurut hukum
Indonesia, tidak ada lagi kaum peranakan karena orang-orang etnis Tionghoa telah
menjadi bangsa Indonesia atau bangsa Tionghoa sesuai dengan pilihan
mereka.
Menurut Nio, karya-karya sastra
kaum peranakan ini sangat kaya isinya, meskipun miskin dari sudut bahasa. Oleh
karenanya, Nio menyarankan agar karya-karya itu dikaji dari sudut sejarah,
sastra, dan psikologi. Karya-karya sastra yang ditulis oleh pengarang-pengarang
keturunan Tionghoa berakhir tahun 1962. Tahun 70-an muncul nama Marga T.
disusul oleh Mira W. pada tahun 80-an.
Kajian tentang genre sastra ini
dilakukan dengan berbagai sudut pandang. Karya Claudine Salmon Literature
in Malay by the Chinese in Indonesia lazim disebut sebagai “Katalog
Karya-Karya Peranakan”. Dia membicarakan tentang penerbitan, perdagangan dan
terjemahan karya-karya sastra. Thomas Rieger yang mengkaji naskah-naskah drama
karya Kwee Tek Hoay, yang tulisannya dikutip oleh Katrin Bandel ketika menulis
“Epilog” dalam novel Acek Botak(2009) karya Idris Pasaribu.
Koleksi buku sastra peranakan
Tionghoa tersimpan, antara lain, di Perpustakaan Nasional di Jakarta, Koninlijk
Instituut voor Taal-, Land-, en Volkenkunde (KITLV) di Rijksuniversiteit
Leiden, di University of Wisconsin Madison, di Cornell University, Perpustakaan
Yogyakarta, koleksi keluarga Ch. Damais di Pusat Dokumentasi H.B. Jassin, dan
juga koleksi-koleksi pribadi.
Membaca karya-karya itu diakui
Myra Sidharta seperti membawa dia ke dunia yang dikenalnya yang hampir pupus
dari ingatan. Gambaran yang tercermin adalah dunia kaum peranakan sebelum
Perang Dunia II. Isinya sarat dengan ajaran moral dan peringatan terutama
tertuju pada kaum perempuan seperti agar taat pada ajaran Konfusius yang
mengharuskan para gadis mematuhi orang tuanya, para istri mematuhi suaminya,
dan para janda mematuhi putranya.
Sastra Melayu-Tionghoa atau astra
Indonesia-Tionghoa adalah sastra kaum minoritas. Nasibnya tampak lebih jelek
dari roman picisan dan novel pop. Kedua yang disebut terakhir hanya dipandang
dengan sebelah mata, sedangkan sastra Indonesia Tionghoa hanya dilirik sekilas.
Ketiganya seakan-akan tidak punya andil dalam dunia sastra Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar