Kesusastraan Indonesia modern tetap dianggap baru muncul
setelah Perang Dunia I berakhir dengan berdirinya Balai Pustaka pada tahun
1917. Balai Pustaka nama populer dari Kantor Bacaan Rakyat (Kantoor voor de
Volkslectuur) yang sebelumnya bernama Komisi Bacaan Rakyat (Commisie voor de
Inlandsche School en Volkslectuur) yang didirikan pada tahun 1908.
Awalnya Balai Pustaka menerbitkan
buku-buku cerita rakyat berbahasa daerah, kemudian buku-buku terjemahan atau
saduran cerita-cerita kepahlawanan orang Belanda dan cerita-cerita klasik
Eropa, baru kemudian buku-buku karangan baru. Tahun 1914 terbitlah roman
pertama dalam bahasa Sunda Baruang Ka Nu Ngarora (Ratjun
Bagi Paramuda) karangan D.K. Ardiwinata.
Tahun 1918 terbitlah Tjerita
Si Djamin dan Si Djohan karangan Merari Siregar. Tjerita Si
Djamin dan Si Djohan yang disebut sebagai roman pertama dalam sastra
Indonesia, sebetulnya disadur Merari Siregar dari Jan Smees karangan
J. van Maurik. Oleh T. J. Lekkerkerker dikatakannya disadur dari novel Oliver
Twist, karangan Charles Dickens. Baru pada tahun 1920 terbit roman asli
pertama sastra Indonesia berjudul Azab dan Sengsara Seorang Anak
Gadis karangan Merari Siregar juga.
Balai Pustaka memang berhasil mendorong
kegiatan menulis di kalangan orang Indonesia. Untuk dapat diterbitkan di Balai
Pustaka, tulisan itu mereka saring. Ini dapat dimaklumi. Pendirian Balai
Pustaka mempunyai latar belakang politis, untuk mengarahkan bacaan rakyat dan
menyaingi buku-buku terbitan swasta atau partikulir. Mereka makin lama makin
banyak tersebar dalam masyarakat. Buku-buku itu sebagian besar membangitkan
rasa nasionalisme.
Tentu saja hal ini berbahaya bagi
kelangsungan hidup penjajahan Belanda. Karena itu, syarat utama yang diterapkan
oleh Balai Pustaka, karangan tidak boleh menyinggung-nyinggung soal politik.
Karangan-karangan itu harus bebas dari nada menghasut. Buku-buku terbitan
non-Balai Pustaka, yang sifat dan isinya menghasut rakyat mereka sebut dengan
bacaan liar.
Roman-roman yang tidak bernada
menghasut dan lebih bersifat hiburan, menurut Ajip Rosidi dalam bukunya Ichtisar
Sedjarah Sastra Indonesia (1969), banyak ditulis dan diterbitkan para
pengarang Cina. Mereka menulis dalam bahasa Melayu yang dikenal dengan bahasa
Melayu-Cina.
Di Indonesia sastra Melayu-Cina
tumbuh dan berkembang sebelum muncul sastra Indonesia modern akhir abad ke-19.
Nio Joe Lan menyebutnya dengan sastra Indonesia Tionghoa. Menurut Jakob
Sumardjo dalam bukunya Dari Kasanah Sastra Dunia (1985),
jenis sastra ini diawali dengan terjemahan-terjemahan.
Pada kurun awal perkembangannya,
terbit karya-karya terjemahan sastra Cina dan Eropa yang dikerjakan oleh Lie
Kim Hok, antara lain: Kapten Flamberge setebal 560
halaman, Kawanan Bangsat setebal 800 halaman, Pembalasan
Baccarat setebal 960 halaman, Rocambole Binasa,
dan Genevieve de Vadans setebal 1.250 halaman. Demikian
tebalnya buku-bukuitu lantaran diterbitkan secara serial. Ada yang sampai empat
puluh jilid. Setelah masa itu, masih dari Jakob Sumardjo, barulah berkembang
karya Melayu Cina asli sampai akhir tahun 1942.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar