Sastra cyber merupakan suatu revolusi. Sebagaimana internet
menjadi revolusi media kedua setelah penemuan mesin cetak Guttenberg dan ketiga
setelah kehadiran televisi. Sebelum munculnya sastra cyber, dunia sastra
Indonesia sendiri telah memiliki beberapa kekhasan yang terkait dengan
keberadaan teknologi media. Antara lain sastra majalah, sastra koran, dan
sebagainya. Ketika biaya publikasi semakin mahal,begitu juga dengan keberadaan
sastra koran/majalah dirasa telah membangun hegemoninya sendiri, internet pun
datang.
Komunitas-komunitas sastra maya mulai muncul.
Memanfaatkan teknologi seperti mailing list (milis), situs, forum diskusi, dan
kini juga blog, internet menawarkan iklim kebebasan, tanpa sensor. Semua orang
boleh memajang karyanya, dan semua boleh mengapresiasinya.
Ironisnya, tantangan di Indonesia
justru muncul dari dunia sastra sendiri. Sastra cyber, dengan sifatnya yang
bebas itu pernah dituding (baca: dianggap) oleh beberapa pihak sebagai sekadar
ajang main-main sehingga karya-karyanya pastilah tak bermutu. Meski
demikian,seiring berjalannya waktu, saat ini eksistensi karya sastrawan
cyberpun sudah mulai makin diakui, terutama oleh masyarakat, walau untuk
apresiasi mungkin masih dipandang sebelah mata oleh sebagian kelompok mapan
tersebut.
Penggunaan
istilah sastra cyber sendiri sudahlah jelas dan gamblang menyatakan jenis
medium yang dipakai: medium cyber, persis sama halnya dengan istilah sastra
koran, sastra majalah, sastra buku, sastra fotokopian/stensilan, sastra radio,
sastra dinding, dan sebagainya.
Jadi semua tulisan sastra yang dipublikasikan melalui
medium cyber bolehlah disebut sastra cyber.Pertanyaan berikutnya yang sering
mengekori penggunaan istilah sastra cyber adalah masalah estetika atau
"nuansa estetika" yang menurut pengamat sastra tidak seperti sastra
koran dan sastra majalah yang "memiliki nuansa estetika yang esensial dan
bisa diukur". Tidak jelas juga nuansa estetika yang bagaimana yang
dimaksud itu.Adakah sebenarnya sastra koran dan majalah memang mengusung
gagasan sebuah nuansa estetika yang esensial dan bisa diukur, yang orisinal?
Benarkah dunia cyber itu eksklusif dalam artian menutup
pintu rapat-rapat bagi "orang luar" untuk masuk? Masuklah ke dunia
cyber, jangan hanya mengintip, maka anda akan tahu betapa inklusifnya dunia
cyber itu. Bandingkan saja dengan komunitas-komunitas sastra di
"darat" atau "eksklusivitas" prestise sebuah halaman budaya
di suatu koran misalnya. Egalitarian, kebebasan individu, demokrasi yang
ditawarkan medium cyber serta kelapangannya dalam mengakomodasi segala jenis
manusia dan ragam karya di dalamnya tanpa adanya pintu-pintu terkunci jelas tak
bisa dikatakan eksklusif, justru sebaliknya.
Semua sastrawan secara individual harusnya terus bergulat
menggali potensi dirinya sendiri dengan media apapun yang dikuasainya. Isolasi
ruang gerak sastrawan berdasarkan media yang digunakan tak akan membawa manfaat
apa pun, justru kontraproduktif. Justru semestinya sastrawan bisa bergerak di
segala media, baik cetak maupun elektronik. Apakah seorang penyair yang biasa
menulis puisi di atas kertas wangi lantas akan turun mutu puisinya ketika ia
menuliskannya di atas dinding toilet? Kalau seorang penyair hanya bisa
mengungkapkan kegelisahan remaja mencari jati dirinya atau kecengengan
romatis-emosional tentu bukan karena medianya melainkan karena baru sejauh
itulah perjalanan puitik penyair tersebut.
Menggeneralisasikan kualitas karya di sastra cyber hanya
dari satu-dua karya ditambah dengan presumsi apriori terhadap nama-nama
penulisnya yang belum dikenal di dunia sastra sungguh tidak objektif dan
semena-mena. Puisi tetaplah puisi, baik ia ditulis oleh seorang penyair
"sufi" maupun seorang ateis pemabuk, seorang sarjana sastra maupun
seorang juru masak. Di dunia cyber yang bukan penyair pun boleh ambil bagian.
Sejauh ini belum ada satupun studi kritis atas karya-karya sastra di internet
yang tak terhitung jumlahnya itu. Apakah semua karya tersebut rendah
kualitasnya? Pertanyaan tersebut bisa juga berbunyi: apakah semua karya yang
dimuat di koran dengan seleksi ketat redaktur itu (dijamin) tinggi kualitasnya?
Tuduhan terhadap sastrawan cyber sebagai sastrawan
"pelarian" yang gagal mempertaruhkan nasibnya di media cetak rasanya
terlalu menghakimi dan sangat discouraging. Paling tidak, sastrawan cyber
menulis secara mandiri dengan konsep "estetika" masing-masing tanpa
harus takut pada gunting tajam sosok redaktur.
Sungguh kasihan sastrawan yang menyerahkan nasibnya
kepada (redaktur) media cetak, seolah-olah hidup-matinya tergantung kepadanya
dan karenanya harus "melayani" selera redaktur agar karyanya bisa
dimuat. Mungkin sosok almarhum Romo Mangun perlu dilihat kembali. Sastrawan
besar ini menolak disebut pengarang "profesional" dan lebih suka
disebut pengarang "amatir" karena beliau menulis karena memang
mencintai pekerjaan itu, bukan demi uang sebagaimana seorang profesional
bekerja. Sastrawan cyber adalah sastrawan "amatir" dalam pengertian
"pecinta" itu. Seseorang yang memuat karyanya di internet jelas
melakukan hal itu bukan untuk mengharapkan honorarium sebagaimana ketika
seorang sastrawan "profesional" mengirimkan karyanya untuk dimuat di
koran atau majalah.
Dunia cyber memang bebas. Sebagai konsekuensinya,
terhadapnya tak bisa dipakaikan satu acuan nilai saja. Sebagai dunia dengan
ragam nilai, ragam kriteria, ragam standar, ia tak bisa semata dilihat dengan satu
kacamata saja. Pembaca cyber yang sudah merasakan dan memahami psikologi dunia
maya umumnya terbiasa dengan cara pandang multifaset seperti itu dan karenanya
mereka cukup kritis memilih apa yang ingin mereka baca atau mereka lewati.
Mungkin kini saatnya sastrawan dan, terutama, kritikus sastra kita membiasakan
diri untuk menyediakan lebih dari satu kacamata, agar tidak mudah silap dalam
membaca hal-hal tsb.
Selain permasalahan di atas, minimnya keterlibatan
komunitas kampus dalam mendirikan pusat-pusat kajian media digital. Baik yang
terintegrasi ke dalam struktur formal pengajaran kampus dan mewujud sebuah
silabus, atau ke dalam bentuk dukungan informal pendirian lembaga-lembaga
seperti ELO atau EPC yang masing-masing didukung oleh UCLA dan SUNY Buffalo.
Kalau pun pusat-pusat kajian seperti itu ternyata sudah berdiri di (beberapa)
universitas di Indonesia, hasil kajian mereka masih belum terpublikasi luas,
apalagi bisa dijadikan sebagai acuan untuk menelaah profil sastra elektronik
(sasel) Indonesia.
Bahaya dari minimnya kajian media digital seperti ini
adalah digunakannya istilah-istilah yang sesungguhnya sudah baku dalam
komunitas teknologi internasional, namun diterapkan dengan tidak tepat oleh
sebagian komunitas sastra di sini. Kesalahan yang paling mendasar dan umum
ditemui adalah sebutan cyborg sebagai kata ganti bagi "orang-orang yang
aktif di dunia cyber, khususnya aktivis sastra cyber." Kenaifan
seperti ini sangat mengkhawatirkan mengingat sudah luas diketahui
bahwa cyborg adalah
kependekan dari cybernetic organism, istilah yang pertama kali diciptakan
Manfred Clynes dan Nathan Kline untuk merujuk pada organisme yang
mengintegrasikan sistem natural dan artifisial dalam metabolisme tubuhnya.
Anakin Skywalker/Darth Vader dari film Star Wars adalah contoh cyborg paling
terkenal dari budaya populer.
The King Casino - Ventureberg
BalasHapusThe kadangpintar King Casino is ventureberg.com/ owned by British goyangfc.com casino operator Crown Resorts and poormansguidetocasinogambling operated by 출장마사지 Crown Resorts. It is owned by British ADDRESS: CASTLE